Iis Soekandar: Cerpen Dewasa

Selasa, 17 Mei 2016

Cerpen Dewasa


RUMAH KAYU LANTAI DUA
Oleh : Iis Soekandar               
       Kakinya melangkah menaiki anak tangga satu per satu demi mengejar waktu. Seember cucian yang biasa dikerjakan dua hari sekali berselang dengan menyetrika terangkat di tangan kanannya. Entah waktu mana yang membuatnya terburu-buru karena sebenarnya tak ada sesuatau pun yang mengharuskannya segera selesai. Baik cucian itu tergerai di tali bahkan harus kering. Begitupun tak ada kegiatan lain seperti yang biasa dikerjakan, sebagaimana filosofinya, selesai pekerjaan satu lanjutkan pekerjaan lain. Tidak lain hanya ingin segera menyelesaikan. Setelah itu saatnya beristirahat siang.
       Dilembarkannya setiap potong baju di tali yang sengaja disiapkan untuk menggerai jemuran. Sedangkan baju-baju resmi tergantung di hanger. Tidak saja sebagai batas etika bagi pemandangan, dibanding menjemur di luar sebagaimana tetangganya yang tidak memiliki lahan, yang lebih penting supaya terhindar dari seseorang yang memburu dan membuatnya semakin merasa resah sekaligus bersalah.
       Rumah lantai dua semua bahan terbuat dari kayu sengaja diperuntukkan  sebagai penangkal aib jemuran. Dibangun sejak kedua orang tuanya masih hidup. Selebihnya berfungsi sebagai gudang. Barulah kemudian lantaran kebutuhan dibuat sebuah kamar sekedarnya. Meski begitu tak ada yang terganggu, karena seiring perkembangan jaman menggelar cucian tidak lagi meneteskan air. Ada mesin cuci disertai pengering membuat cucian tak lagi seratus persen membutuhkan sinar matahari. Angin yang berhembus semakin lama mengeringkan cucian itu.
       Semua telah dilembarkan. Berujung tepat di depan jendela. Pandangannya lurus ke depan, tak mungkin lepas dari luar. Dadanya langsung naik turun begitu menatap pemandangan tak asing. Seorang lelaki dengan headset menempel di kedua telinga. Segera dihindari, perasaan berdesir, pikiran miris.
       Namun meninggalkan sepenuhnya tak kuasa. Ada sesuatu yang menahan untuk segera berpaling. Begitulah setiap kejadian ini terulang. Pikirannya tetap mengarah kepada lelaki itu. Tubuhnya lunglai, mendelosor terduduk dengan kedua tangan mengapit kedua kaki. Supaya kalau dia tiba-tiba mengarah ke arah jendela tidak melihatnya. Bukankah lelaki itu berada di situ dengan pandangan persis mengarah ke jendela agar bisa melihatnya ?
       Rumahnya terletak bersebelahan dengan masjid. Kalau saja lelaki itu mau ia bisa duduk di teras masjid yang lebih luas dan nyaman. Namun menyamping  dengan rumah kayu lantai dua dan jelas tidak mengarah pada jendela. Nyatanya ia memilih di bawah pohon palem yang justru hanya sedikit diplester dan mungkin tempat duduknya terkotori dengan tanah, tempat pohon itu berpijak.
      Beruntung dia membunyikan musik tidak dari tape recorder yang bisa didengar orang lain. Mengingat di masjid, tempat kebayakan orang beribadat. Ah bukan, bukan itu masalahnya, dia tidak bakalan memerdulikan musik itu mengganggu orang lain atau tidak. Orang lain juga tidak bakalan memarahinya jika itu yang terjadi. Mereka dengan caranya yang halus akan memintanya pergi. Dia tidak merasa menjadi manusia spesial yang orang lain harus memaklumi. Namun memang begitulah yang dia tahu. Kesadarannya bermusik seiring pekembangan jaman, lebih praktis dan efisien, dengan headset di kedua telinganya. Sembari geleng-geleng, matanya terpejam, jidatnya mengerut, begitu menghayati lagu, serasa dunia ini miliknya. Teronggok dua travelbag di kanan kirinya.
       Dia bisa menebak lelaki itu selesai jalan-jalan berkeliling kota dengan berkendaraan bis. Demi menyejahterakan masyarakat, pemerintah membuat angkutan baru dengan sistem baru pula. Haltenya khusus, tidak bersamaan dengan angkutan lain. Mereka hanya diwajibkan membayar satu kali tiket namun bisa digunakan lebih dari satu tujuan asalkan belum melampaui terminal tempat angkutan itu bermuara. Sangat menguntungkan masyarakat.
       Namun berbeda tujuan dengan lelaki ber-headset yang sekarang berada di lingkungan masjid, di bawah pohon palem. Halusinasinya terus mengembara. Ia membawa sejumlah pakaian dan menempuh beberapa rute seolah pergi ke luar kota. Layaknya sebuah keluarga yang bepergian jauh tentu butuh pakaian ganti, apalagi kalau lama sampai berhari-hari. Sebagai seorang suami yang setia ia pun membawakan pakaian banyak. Beberapa rute yang harus ditempuh karena perjalanan jauh tentu membutuhkan berjam-jam berada di dalam kendaraan. Hal itu diimplementasikan dengan lama di kendaraan.
       Menurut kabar dari orang-orang yang pernah melihat sepak terjangnya, lelaki itu setelah sampai di tempat tujuan hanya duduk-duduk, terkadang berbicara sendiri, mungkin membayangkan sedang bersama orang yang dikasihi. Sesekali pula melakukan kegiatan rutinnya, apalagi kalau bukan mendengarkan musik melalui headset, kegiatan yang waktu itu orang getol mendengarkan musik tidak lagi melalui kaset yang bisa membuat bising orang sekitarnya yang kebetulan ingin ketenangan. Geleng-geleng kepala, kalau perlu, dua jari telunjuk menunjuk-nunjuk ke atas.
       Biasanya tempat yang dituju bernuansa alam. Dengan berbagai tanaman dan pemandangan terbuka, bila perlu terdapat aneka permainan anak. Banyak pengunjung yang datang. Sebuah tempat yang diidamkan bagi siapapun keluarga demi mendapatkan suasana berbeda dari kehidupan sehari-hari yang banyak dihabiskan di tempat kerja. Ataupun di dalam rumah bagi yang sehari-hari sebagai ibu rumah tangga biasa.
       Sebagai insan yang masih awal dalam berumah tangga mereka belum memikirkan kehadiran anak. Namun pergi ke tempat-tempat hiburan sebagai bentuk refreseing tetap dibutuhkan. Bukankah dengan sering-sering menghabiskan waktu di tempat rekreasi pikiran menjadi bahagia ? Dengan ketenangan batin maka menggapai tujuan hidup biasanya mudah tercapai, begitupun keinginan memiliki buah hati.
       Uang belum banyak digunakan, kebutuhan masih sebatas untuk mereka berdua. Kehadiran anak apalagi jika masih kecil seringkali menghabiskan uang banyak. Namun mereka belum dikaruniai. Pergi berdua masih menjadi prioritas. Mungkin karena bulan madu pada awal pernikahan dulu belum terealisir maka sebagai penebus selalu pergi berdua setiap kesempatan yang ada. Ke luar kota dengan menginap di hotel dan biaya banyak tidak menjadi masalah.
       Tentu tidak cukup hanya bermodal biaya. Sejumlah pakaian selama bepergian harus pula dibawa. Tidak lupa kebutuhan pribadi lain. Tak heran bila dua travelbag memenuhi kedua tangan. Tak perlu travelbag bermerek terkenal, karena tak memikirkan gengsi. Tetapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan. Mereka orang biasa dan tinggal di rumah perkampungan. Menyempatkan pergi berlibur, apalagi dengan alasan berbulan madu, sudah menjadi kabar mewah tersendiri.
       Terlintas pembayangan, pernikahan yang tak direncanakan. Walau pernikahan adalah hal yang diidamkan setiap orang. Begitupun pasti bagi lelaki itu dan calon istrinya. Namun pasangan belum kian datang. Keluarganya mulai resah. Terlebih bagi Munaroh, calon istrinya waktu itu, bapaknya sudah tidak ada. Ibunya takut terjadi sesuatu dengan anak bungsunya. Semua saudaranya sudah berumah tangga. Maka pencarian pasangan pun segera dilakukan.
       Sekian waktu ditunggu Munaroh belum mendapatkan pendamping hidup. Diantara penantiannya, tiba-tiba telinganya memerah. Ibunya lebih dulu menemukan seseorang yang bakal menemaninya seumur hidup.   
       “Ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya, Bu. Saya sudah dewasa. Pada waktunya saya pasti akan menemukan pasangan hidup.” Sanggah Munaroh berusaha menjelaskan.
       “Jaman moderen tidak berarti menolak perjodohan, Mun. Kalau seseorang itu sudah berada di depan mata, berarti itulah waktunya.” Ibunya tak kalah mempertahankan keyakinannya. ”Karunia tidak selalu datang dari diri sendiri. Bisa juga melalui orang lain.” tambah ibunya tentang jodoh.
       Nasi memang belum menjadi bubur, namun janji suci antara kedua belah keluarga sudah membaur. Tanpa ada dasar saling cinta pernikahan pun digelar. Semua berharap mereka berdua saling mengerti. Bukankah nenek moyang mereka, termasuk kedua orang tua mereka juga jadian begitu saja dengan pasangan masing-masing ? Hanya dengan perantantara kedua orang tua, akhirnya mereka menikah. Tanpa ada tuntutan macam-macam, apalagi cinta, mereka menjalani kehidupan ini apa adanya. Dan mereka beranak pinak hingga punya cucu, sampai maut memisahkan mereka.
       Namun Munaroh bukanlah orang jaman dulu yang pasrah begitu saja menerima keadaan. Semakin hari hatinya semakin tersiksa. Bahkan ia menolak menikmati malam pertama. Terakhir pada puncaknya ia tidak mau lagi tidur sekamar. Sang lelaki pun menyadari sikap istrinya. Pernikahan ini begitu dipaksakan.
       Lelaki itu memang tidak mempermasalahkan nasib. Sebagai seorang anak yang berbakti, ia terbiasa mengikuti semua kehendak orang tuanya. Termasuk menerima pernikahan melalui perjodohan. Ia pun memaklumi keinginan istrinya yang enggan berkumpul. Dari tidak mau lagi tinggal serumah di rumah mertua, lalu pindah di rumahnya sendiri, sampai tidak lagi bersedia sekamar.
       Namun ternyata menerima nasib tak disertai dengan keikhlasan batin. Perasaannya bergejolak. Dadanya menolak. Tapi mulutnya tak mampu memberontak. Di tempat pekerjaannya ia sering melamun. Hanya di situlah tidak terlihat keluarga ataupun istrinya. Sementara di dalam rumah ia nampak tegar.
       Akhirnya karena kerja tak becus dan seringkali membuat kesalahan, perusahaan tak mau lagi menerimanya. Ia dipindahkan di bagian `kering`, tentu dengan gaji lebih sedikit pula. Lagi-lagi ia tidak bisa tenang dan membuat kesalahan. Pikirannya sering limbung. Terkadang nampak berbicara sendiri dan sedih. Akhirnya karena tidak lagi bisa bekerja, perusahaan memecatnya.  
       Ia kembali ke rumah sendiri. Pikirannya tidak lagi waras. Sejak pernikahan istrinya sebetulnya enggan tinggal bersama. Apalagi bepergian berdua. Akhirnya ia melampiaskan segala sesuatunya dengan berhalusinasi. Pergi dengan dua travelbag menenteng kiri kanan, layaknya keluarga yang ingin pergi ke luar kota. Tidak lupa sembari mengisi waktu di perjalanan yang bisa terasa menjemukan, ia pun sibuk dengan musik melalui headset di kedua telinganya.
       Istrinya benar-benar tak lagi mau memperpanjang hubungan. Dan perpisahan menjadi sesuatu yang tak dapat dihindari. Ia tidak lagi memberi nafkah lahir maupun batin. Kedua belah keluarga baru menyadari bahwa perjodohan tak selamanya berbuah bahagia. Membina hubungan untuk sekedar saling menjajaki keduanya sebelum pernikahan sangatlah penting. Maka dengan ikhlas pun mereka berpisah baik-baik.
       Efek dari perpisahan itu Munaroh tidak tenang berada di rumahnya sendiri. Ia sering didadatangi walau tidak lagi menjadi istrinya. Semua orang memang tahu mereka tidak lagi sebagai suami istri. Namun rasa malu seringkali hinggap. Tidak hanya itu, rasa tergila-gila lelaki itu sekaligus merasa bersalah terkadang hadir. Warung kelontong menyatu dengan rumah dari orang tua yang dipercayakan kepadanya dijaga oleh pembantunya. Munaroh bagian mengelola dan menyediakan bahan-bahan.
       Apa tujuannya kalau bukan menghindari lelaki yang tidak lagi menjadi pasangannya itu. Karena kenyataan belum bisa menerimanya. Pernah suatu saat ia terlihat di warung, lelaki itu menyambanginya dan tak mau pergi. Memang tidak mengganggu, tapi apa yang masih bisa diperbuat dari hubungan yang tidak lagi tersambung. Semenjak itu ia mencari asisten untuk menunggui warung. Dan lelaki itu pun tidak pernah lagi mendatanginya.
       Kalau ingat semua itu bercampur aduk pikirannya. Lelaki itu masih geleng-geleng kepala menikmati musik melalui headset. Kedua telunjuknya mengarah ke atas menghayati lagu. Tak disangka, tiba-tiba kedua matanya mengarah ke jendela, lalu...
       “Munaroooooh....”
       Ia terperanjat, dan menyeret tubuhnya dari pintu jendela untuk segera berlalu dari rumah kayu lantai dua.
@@@SELESAI@@@
                                                                                          
  Cerpen ini telah dimuat di tabloid Nova 1473/XXIX 16 - 22 Mei 2016      

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar