Iis Soekandar: Resensi : Buku Ini Tidak Dijual

Kamis, 03 Desember 2015

Resensi : Buku Ini Tidak Dijual


Kesederhanaan Pada Era Modern





Judul novel                : Buku Ini Tidak Dijual
Penulis                      : Henny Alifah
Penyunting bahasa  : Mastris Radyamas
Penerbit                    : Indiva
Ketebalan                 : 192 halaman
Ukuran                       : 20 cm
ISBN                          : 978-602-1614-48-8
Cetakan I                  :  Jumadil Awal 1436 H / Maret 2015
Harga                        : Rp 46.000,00

       Hidup pada era modern tidak harus mengesampingkan kesederhanaan, apa adanya, dan menerima keadaan. Tergambar secara eksplisit dari judulnya, “Buku Ini Tidak Dijual”. Itulah yang terkesan setelah membaca novel ini.  
       Sesederhana judulnya yang tidak perlu berpikir panjang untuk menerjemahkan maknanya, isinya hanya mengangkat satu persoalan, “tidak menjual buku”, dalam hal ini yang menjadi harta berharga dalam hidup tokohnya. Tidak ada sisipan  persoalan-persoalan lain sebagaimana cerita fiksi panjang seperti novel-novel pada umumnya. Setting yang diambil didominasi daerah perkampungan atau pedesaan dengan latar khas, banyak pepohonan, budaya rasa peduli antarwarga, dan penggunaan bahasa daerah yang kental. Ditunjang dengan pergantian tiap bab tanpa diberi judul bab melainkan diungkapkan melalui urutan angka : satu, dua, tiga, dan seterusnya hingga selesai. Sebab tidak ada kejadian lain yang perlu diangkat dalam cerita sehingga harus membuat judul bab dengan kata-kata atau kalimat, kecuali hanya mengejar satu target, “tidak menjual buku”.
       Bercerita tentang tokoh Padi yang bekerja di ibukota. Kecintaan Padi pada buku terlihat ketika di kereta yang penuh sesak oleh penumpang. Orang umum barangkali merasa kurang nyaman membaca di angkutan umum, terlebih dengan penumpang penuh, entah alasan pusing atau berdesakan dengan penumpang lain. Tapi Padi tetap melakukannya. Mengingat Jakarta diburu pendatang dari berbagai penjuru Indonesia untuk berbagai kepentingan. Tidak heran mereka memadati pula angkutan umum seperti kereta. Bahkan ketika penumpang seorang wanita hamil yang diberinya tempat duduk menyatakan keherannya, ia berdalih bahwa kegemarannya membaca dilandasi wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Hal itu jelas terkandung makna bahwa dengan membaca orang menjadi pintar.
       Setahun sekali Padi pulang ke kampung halaman untuk bertemu ayahnya, sekaligus Gading, anaknya semata wayang yang sudah mahasiswa. Sesuatu yang tidak disangka adalah lenyapnya aset paling berharga dalam hidupnya, melebihi rasa sayangnya kepada dua orang yang masih hidup karena istrinya telah meninggal. Dan kelak menjelang akhir cerita diketahui almarhumah istrinya juga mendukung kecintaannya pada buku. Terlihat pada setiap halaman buku pada akhir cerita terpampang foto-fotonya. Pada saat pulang ke kampung itulah terjadi malapetaka.
       Di perjalanan menuju ke rumah, ia melihat sebuah mobil terbuka mengangkut lima karung buku keluar dari halaman rumahnya. Ternyata ia mengetahui bahwa buku-buku itu adalah miliknya yang dikoleksi dari SD. Betapa ia marah. Perang dingin pun terjadi di rumah antara Padi dengan ayahnya. Gading, anaknya, ikut dituduh mendukung penjualan buku-buku itu karena tidak menghentikan niat kakeknya, tetapi justru ikut meringkasi dan memasukkannya ke dalam karung. Gading mengerti perasaan ayahnya. Ia bisa bayangkan bagaimana perasaannya seandainya barang koleksinya dijual. Maka dengan berdalih tidak ingin gitar koleksinya juga ikut raib dijual ia pun bertekat mengembalikan buku-buku itu.
       Petualangan pun dimulai. Gading tidak sendirian. Ia menemui sepupunya, Kingkin yang tempat tinggalnya masih satu desa. Dengan kerelaan hati Kingkin pun bersedia menelusuri keberadaan buku-buku itu agar kembali ke tangan ayah Gading. Keduanya kemudian memulai mencari alamat pengepul yang membeli buku-buku itu. Mereka berharap buku-buku itu belum jatuh ke orang lain karena waktu menjualnya tidak lama.
       Ternyata buku itu sudah diserahkan Doni, anak Pak Mersudi, pengepul yang membeli buku-buku itu kepada lembaga pendidikan atau sekolah atau pondok untuk pembelajaran. Setelah melalui lobi dan perundingan yang tidak mudah dengan pihak-pihak yang merasa sudah memiliki, akhirnya buku-buku itu bisa kembali. Walau harus menebus dengan uang terlebih dahulu, waktu sehari semalam terasa begitu lambat mengingat proses pengembalian buku tidak semudah membeli buku pada umumnya. Bahkan Gading nyaris kehilangan nyawa saat di jalan bertabrakan dengan truk. Beruntung ia terlempar sehingga hanya lecet dan memar pada tubuhnya. Sementara kendaraannya ringsek.
       Persoalan tidak berhenti sampai di situ. Karena petualangan berjalan demikian berliku, tengah malam mereka masih di perjalanan. Petualangan bertambah seru ketika di tengah jalan bertemu dengan perampok. Mereka meminta uang. Gading menolak karena uang sudah habis untuk menebus buku-buku. Tapi naas, tidak ada uang, buku pun jadi. Bukankah buku bila diloakkan pada akhirnya mendatangankan uang ? Gading tambah naik pitam. Meski cedera pada kaki belum sembuh akibat terlempar dari kendaraan yang nyaris menghilangkan nyawanya, pertarungan itu berhasil dimenangkan Gading. Gading tidak sendirian, dalam proses perjalanan mengembalikan buku ada orang lain yang membantu. Akhirnya buku itu berhasil dibawa pulang.
       Novel ini nyaris sempurna jika penulis tidak memaksakan kejadian kebetulan. Kebetulan bahwa wanita hamil yang diberi tempat duduk Padi di kereta menjelang kepulangannya ke kampung ternyata anak pengurus MI, semacam sekolah SD Islam, yang membeli buku-bukunya sebanyak dua karung. Begitupun pertemuan Doni, anak Pak Mersudi, pengepul yang membeli buku dan belum pernah ditemui oleh Gading kecuali mendengar suaranya melalui telepon. Ketika terjadi kecelakaan dan nyaris menghilangkan nyawanya, diantara kerumumanan orang yang melihat ada pemuda berperawakan kurus. Ketika Gading tersadar dan berteriak buku-bukunya dalam karung terbengkelai di painggir jalan, pemuda itu menoleh. Ada yang mengusik hatinya. Tiga karung buku itu semula dibawanya dari ayahnya yang pengepul. Yah dialah Doni, anak Pak Mersudi. Kemudian Gading dan Doni bekerja sama memulangkan buku itu kepada Padi. Dunia pun terasa sempit hanya berputar dari para pelakon yang terlibat cerita.
       Mengangkat tema pentingnya buku di tengah era digital, dengan penggunaan internet begitu merajai, justru menjadi kelebihan. Secara eksplisit cerita ini mengingatkan kepada pembaca bahwa buku tidak lekang oleh waktu. Hingga berpuluh-puluh tahun dan lintas beberapa generasi, buku akan tetap utuh. Bayangkan bila menggunakan buku elektronik yang kini marak menjadi trend.  Berapa kali berganti gadget atau gawai. Itupun masih belum ada jaminan buku elektronik tetap utuh. Sebab benda elektronik tentu sangat rawan. Misalnya terkena virus. Belum lagi membutuhkan perawatan ekstra. Terjatuh akan rusak. Sementara buku terjatuh beberapa kali tetap utuh. Harga satu gawai bisa untuk membeli berpuluh buku. Disamping itu buku ramah pandangan. Buku hanya membutuhkan jarak pandang normal agar mata tetap sehat. Tapi gawai membawa radiasi mata.
       Dari segi bahasa novel ini mudah dipahami. Bahkan oleh orang awam sekalipun. Bahasa yang digunakan adalah bahasa dalam pergaulan sehari-hari. Kalaupun ada bahasa daerah dalam hal ini bahasa Jawa, mudah dicari terjemahannya karena kata kunci terletak dalam catatan kaki. Bukan diletakkan di halaman buku bagian belakang. 
       Sebagai bacaan pada waktu senggang novel ini cukup menghibur. Disamping membuat pembaca tersadar bahwa teknolgi tidak selamanya membawa kebaikan bagi penggunanya.
@@@





Tidak ada komentar:

Posting Komentar